Tuesday, July 24, 2007

Nasionalisme Ekonomi vs Modal Asing

Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan baru tentang kepemilikan asing (foreign ownership) pada kegiatan usaha di sektor tertentu (Perpres No. 77/2007). Seperti biasanya, setiap ada kebijakan semacam itu selalu mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan. Soal kepemilikan tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga soal perasaan (emosi) publik. Lebih jelasnya, kebijakan kepemilikan selain harus memperhatikan konsekwensi yang mungkin timbul akibat perubahan tingkat kepemilikan asing harus pula memperhatikan adanya pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa sebaiknya harta kekayaan nasional tidak dimiliki oleh pihak asing.
Kekhawatiran terhadap dominasi asing dalam perekonomian tidak hanya terjadi di Indonesia. Persoalan dominasi AS dalam perekonomian Canada, misalnya, sudah sejak lama menjadi bahan diskusi publik yang hangat di sana. Australia malah UU-nya menyatakan secara tegas bahwa Investasi asing tidak boleh mengganggu kepentingan nasional. Di Thailand, Thaksin menjadi sasaran caci maki luar biasa ketika keluarganya menjual Shin Corp. (perusahaan telekomunikasi terbesar di Thailand) kepada Temasek. Di banyak negara – khususnya negara berkembang -- isu kepemilikan asing merupakan isu sensitif yang berkaitan dengan semangat nasionalisme ekonomi.

Nasionalisme ekonomi
Secara praktis, nasionalisme ekonomi dapat diartikan sebagai penerapan kebijakan ekonomi yang didasarkan pada arah dan tujuan nasional. Dengan kata lain nasionalisme ekonomi lebih menekankan pada “kepentingan nasional” dari pada upaya memberi peluang kepada individu untuk mencari laba. Kebijakan ekonomi lebih menekankan tujuan untuk meningkatkan kesatuan dan kekuatan nasional dari pada upaya memupuk modal.
Di dunia yang semakin terintegrasi, semangat nasionalisme ekonomi biasanya muncul karena adanya pihak-pihak tertentu yang dirugikan oleh proses globalisasi. Mereka yang merasa dirugikan dapat menuduh pihak tertentu sebagai penyebab. Tingkat pengangguran tinggi di Eropa Barat , misalnya, menimbulkan sikap anti pekerja migran. Sikap anti asing semacam itu kemudian dapat dimanfaatkan oleh sementara elit politik untuk mencapai tujuan tertentu. Baik tujuan jangka pendek --meraih simpati massa (menjelang pemilu)-- maupun mobilisasi kekuatan domestik untuk membangun posisi politik dalam pergaulan di lingkungan internasional.
Di negara berkembang seperti Indonesia, nasionalisme ekonomi muncul sebagai bagian dari gerakan anti imperialisme. Nasionalisme ekonomi merupakan perwujudan dari keinginan untuk melepaskan diri dari hegemoni ekeonomi. Globalisasi – dengan perdagangan dan arus modal bebas di dalamnya – dipandang sebagai bentuk kolonialisme modern yang harus ditolak. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila di awal jaman kemerdekaan timbul tuntutan kuat untuk dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial. Para penganut nasionalisme ekonomi yang ekstrim menganggap bahwa hal itu merupakan upaya untuk bebas dari kekangan imperialis. Mereka juga memandang bahwa nasionalisme ekonomi identik dengan pribumisasi dan menghilangkan dominasi asing dalam kehidupan ekonomi.
Program Benteng adalah salah satu proyek nasionalisme ekonomi yang ditujukan untuk memajukan golongan pribumi dalam perekonomian. Kenyataannya, program itu gagal dalam membangun pengusaha pribumi yang tangguh. Sebaliknya yang tercipta hanya hubungan patron – klien antara penguasa dan pengusaha yang rawan terjadi korupsi. Sikap nasionalisme ekonomi yang ekstrim seperti itu nampaknya cenderung kontraproduktif bagi pembangunan ekonomi. Upaya mendahulukan kepentingan kelompok tertentu (pribumi atau non-asing) menyebabkan alokasi ekonomi tidak efisien. Contoh, dalam kasus privatisasi BUMN, larangan penjualan kepada investor asing menyebabkan investor lokal dapat membeli perusahaan itu dengan harga super murah. Tidak masalah bila kemudian hal itu menyebabkan konsentrasi pemilikan pada segelintir konglomerat lokal, kompetisi tidak sehat dan penurunan produktifitas. Pokoknya, lebih baik menjadi miskin karena bangsa sendiri dari pada menjadi kaya karena bangsa asing.
Namun demikian, nasionalisme ekonomi tidak selalu dipahami secara ekstrim seperti di atas. Bagi mereka yang berpandangan moderat, intervensi negara hanya diperlukan bagi mereka yang lemah dan tidak memiliki akses permodalan. Subsidi suku bunga, misalnya, perlu diberikan kepada pengusaha pribumi berskala kecil (UKM). Sementara itu untuk memacu pertumbuhan ekonomi, investasi asing tetap diperlukan.

Kenapa perlu modal asing?
Penolakan terhadap modal asing karena alasan nasionalisme nampaknya harus memperhatikan kenyataan yang terjadi. Pemerintah di negara berkembang memerlukan anggaran besar untuk membangun infrastruktur ekonomi dan sosial dan subsidi untuk pelayanan (kesehatan, pendidikan, dll.) kepada masyarakat. Sebaliknya, karena berbagai hal, potensi penerimaan domestik pemerintah sangat terbatas. Dengan kata lain, pemerintah di negara berkembang dihadapkan pada kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang tidak selalu dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri. Pinjaman luar negeri, menjadi salah satu pilihan yang masuk akal.
Di sektor swasta, persoalan yang kita hadapi adalah kurangnya modal untuk investasi dan lemah dalam teknologi. Hanya dengan investasi itulah ekonomi tumbuh dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Ketika kita tidak mampu menyediakan modal yang dibutuhkan untuk menambah kapasitas produksi, menghambat masuknya investasi asing menjadi keputusan kurang masuk akal. Modal asing itu ternyata dapat menjadi saluran bagi mengalirnya “budaya produksi” (teknologi dan managemen). Banyak pihak percaya bahwa proses alih teknologi akan terjadi sejalan dengan masuknya modal asing. Hal itu dapat memacu perkembangan teknologi yang mendukung peningkatan efisiensi ekonomi.

Kepentingan nasional
Alasan yang sering dikemukakan untuk menolak kepemilikan dominasi asing dalam perekonomian adalah “kepentingan nasional”. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan ”kepentingan nasional” itu sulit dirumuskan secara kongkret. Kepentingan sekelompok besar warga negara (pribumi misalnya) belum tentu sejalan dengan kepentingan semua warga negara. Sayangnya, “kepentingan nasional” itu dapat diterjemahkan secara sangat sederhana. Misalnya, agar percakapan telepon pejabat tidak di sadap oleh pihak asing maka investasi asing di sektor telekomunikasi harus dibatasi. Bila tujuannya sekedar menyadap percakapan telepon, apakah harus menguasai perusahaan telekomunikasi?
Satu hal yang pasti saya kira, perbaikan kesejahteraan seluruh masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi dan efesiensi dunia usaha adalah salah satu kepentingan nasional yang pokok. Oleh karena itu nasionalisme ekonomi saya kira harus diarah pada tujuan itu. Upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat tidak berarti harus anti asing dalam perdagangan maupun investasi. Pemilikan dan dominasi oleh siapapun berpotensi kontraproduktif bagi pembangunan kesejahteraan rakyat. Yang diperlukan adalah rambu-rambu hukum untuk membangun iklim usaha dan tatakelola perusahaan dan pemerintahan yang sehat agar semua potensi yang ada berguna bagi kepentingan bersama.