Tuesday, August 28, 2012

JANGAN PERNAH TERTIPU

JANGAN PERNAH TERTIPU
di surga tak ada bidadari
hanya ada anak2mu yg cerdas, sehat dan berbakti 
dan istri (suami) mu yg banyak mengerti.

jangan pernah tertipu 
tuhan tidak punya pahala 
orang2 mencatat sikap dan perbuatanmu 
mengenang kebaikanmu 
dan mengutuk aib dan celamu.

jangan pernah tertipu 
tuhan tdk perlu disembah 
agama tidak perlu dibela 
ibadat dan ritualmu buat kamu sendiri!

Monday, November 26, 2007

Busway: Antara pembangunan dan Proyek

Bekdrop:
Gak tahu kenapa sampe detik saya masih percaya beberapa hal berikut ini: (1) kemacetan lalulintas kendaraan di perkotaan akan berkurang jika dan hanya jika ada transportasi publik yang bagus. (2) penggunaan transportasi publik bisa memberikan keuntungan ekonomi kepada pribadi / privat (biaya lebih murah) maupun masyarakat (eksternal cost lebih kecil). Mangka berdasar dua keyakinan di atas, saya selalu siap sedia mendukung setiap upaya mencari cara enyediakan ransportasi public lebih baik.

Jakarta, saya kira bukan penomena spesial. setiap kota di negara kere selalu amburadul, termasuk transportasinya. jadi macet bukan cuma di jakarta. bangkok, kalkuta, dehli dan kota besar miskin laen juga macet. Kenapa macet, bukannya kota miskin orangnya gak mampu beli mubil? inilah ironisnya. mungkin itu bisa dijelasin seperti berikut.

Macet tentu kerna kendaraan terlalu banyak. ini, orang gila juga tahu.populasi mobil jadi banyak kerna ada distribusi pendapetan nyang(sangat) timpang. kalo mo diitung (silaken itung sendiri) pop mobil percap di jawa (khususnya jabotabek) gak sebanding dgn level pendapetannya(rata2). artinya orang semiskin di jawa, gak pantes punya mobilsebanyak ini. amrik waktu semiskin kita mungkin mobilnya cuman separonya.

Terus kenapa jadi macet? kerna kita masih miskin, sementara mobilbanyak, ya gak sempet bikin infrastruktur yang mendukung buat itu. Alokasi sumberdaya kita masih buat yang pokok, belon sempet mikirin gimana mobil nyang banyak itu jadi tertib teratur.

Populasi mobil nyang banyak dikernaken juga oleh habit orang. ini soalgengsi dan kebutuhan. soal kebutuhan, ada kaitannya juga samainfrastruktur, ya publik transport itu. gimana saya bisa nyaman sampekantor, kalo kudu naek bes empel2an? Sebab laen, kota di negara kere berkembang tanpa perencanaan. Gimana mo bikin perencanaan kota, cari makan aja susah! Kerna gak ada rencana, lalulintas barang dan orang ya berkembang semaunya. Akakibatnya perencanaan transportasi jadi sulit.alat apa nyang cocok?

Pertanyaan pokoknya
Gimana caranya ngangkut orang banyak dengan arah tujuan gak teratur dalam waktu cepat, secara murah dan syukur kalo aman dan nyaman? saya kira ini persoalan alat: mobil pribadi sendiri2, transportasi publik: angkot, bes, kereta. dan ternyata sutioso pilih baswey!

Apa setioso salah? Belon tentu! buat solusi cepet, maklum kejar tayang,ini masuk akal. bikin sabwey, monorel, selaen mahal perlu waktu lama.sementara kemacetan kudu sigrah diberesin. jadi keputusan ad hoc,ibarat bodreks apa panadol.

Kerna ad hoc, ya bisa dimaklumin kalo perencanaannya asal2an. contoh:kenapa baswey cuman bikin di dalem kota? orang disuruh nyambung pake feeder. Ini artinya baswey cuman substitusi bis kota, bukan substitusi mobil pribadi. Laen halnya kalo dibikin satu jalur penuh, misalnya daricikarang ke harmoni. saya tentu nyimpen mobil digarasi, ganti naek baswey. Satu jalur dulu diberesin, bes nya dibanyakin. alo satu jalurdah beres, baru bangun jalur laen misalnya ciputat - kota, atawaserpong - cawang.

Jadi, soal baswey merupakan persoalan teknis perencanaan bukan ide. Idenya lumayan,perencanaannya khas indonesia: project oriented alias maksimalisasibenefit buat kalangan sendiri.apa ada pilihan selain baswey? dalam jangka pendek emang rada sulit. Ada nyang usul pake kereta. Dari mana ke mana? jalur nyang adaterbates. kalo angkutan jabotabek mo dimaksimalkan. Kereta antar kota, stop sampe di bekasi, jalur jabotabek khusus buat komuter. Nambah jalur saya kira, bukan persoalan sepele. Satu hal yang jadi masalah besar:aliran orang sanget semrawut kayak benang kusut.

Harap maklum
Jadi buat para penganut anti baswey, saya muhun permakluman. idup diantara orang miskin emang kudu banyak korban: derma, caritas, sedekah. Sedekah bukan cuman dalem arti harpiah, tapi kudu sabar ada dilingkungan jorok, kumuh semrawut. Buat sementara orang ini pengorbananbesar. Saya pribadi, buat menyiasati kemacetan jalur cikarang -cikini, kudu rela empel2an naek kerena bersama tumpukan beras, sayurmayur dan kambing!

PM

Tuesday, July 24, 2007

Nasionalisme Ekonomi vs Modal Asing

Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan baru tentang kepemilikan asing (foreign ownership) pada kegiatan usaha di sektor tertentu (Perpres No. 77/2007). Seperti biasanya, setiap ada kebijakan semacam itu selalu mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan. Soal kepemilikan tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga soal perasaan (emosi) publik. Lebih jelasnya, kebijakan kepemilikan selain harus memperhatikan konsekwensi yang mungkin timbul akibat perubahan tingkat kepemilikan asing harus pula memperhatikan adanya pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa sebaiknya harta kekayaan nasional tidak dimiliki oleh pihak asing.
Kekhawatiran terhadap dominasi asing dalam perekonomian tidak hanya terjadi di Indonesia. Persoalan dominasi AS dalam perekonomian Canada, misalnya, sudah sejak lama menjadi bahan diskusi publik yang hangat di sana. Australia malah UU-nya menyatakan secara tegas bahwa Investasi asing tidak boleh mengganggu kepentingan nasional. Di Thailand, Thaksin menjadi sasaran caci maki luar biasa ketika keluarganya menjual Shin Corp. (perusahaan telekomunikasi terbesar di Thailand) kepada Temasek. Di banyak negara – khususnya negara berkembang -- isu kepemilikan asing merupakan isu sensitif yang berkaitan dengan semangat nasionalisme ekonomi.

Nasionalisme ekonomi
Secara praktis, nasionalisme ekonomi dapat diartikan sebagai penerapan kebijakan ekonomi yang didasarkan pada arah dan tujuan nasional. Dengan kata lain nasionalisme ekonomi lebih menekankan pada “kepentingan nasional” dari pada upaya memberi peluang kepada individu untuk mencari laba. Kebijakan ekonomi lebih menekankan tujuan untuk meningkatkan kesatuan dan kekuatan nasional dari pada upaya memupuk modal.
Di dunia yang semakin terintegrasi, semangat nasionalisme ekonomi biasanya muncul karena adanya pihak-pihak tertentu yang dirugikan oleh proses globalisasi. Mereka yang merasa dirugikan dapat menuduh pihak tertentu sebagai penyebab. Tingkat pengangguran tinggi di Eropa Barat , misalnya, menimbulkan sikap anti pekerja migran. Sikap anti asing semacam itu kemudian dapat dimanfaatkan oleh sementara elit politik untuk mencapai tujuan tertentu. Baik tujuan jangka pendek --meraih simpati massa (menjelang pemilu)-- maupun mobilisasi kekuatan domestik untuk membangun posisi politik dalam pergaulan di lingkungan internasional.
Di negara berkembang seperti Indonesia, nasionalisme ekonomi muncul sebagai bagian dari gerakan anti imperialisme. Nasionalisme ekonomi merupakan perwujudan dari keinginan untuk melepaskan diri dari hegemoni ekeonomi. Globalisasi – dengan perdagangan dan arus modal bebas di dalamnya – dipandang sebagai bentuk kolonialisme modern yang harus ditolak. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila di awal jaman kemerdekaan timbul tuntutan kuat untuk dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial. Para penganut nasionalisme ekonomi yang ekstrim menganggap bahwa hal itu merupakan upaya untuk bebas dari kekangan imperialis. Mereka juga memandang bahwa nasionalisme ekonomi identik dengan pribumisasi dan menghilangkan dominasi asing dalam kehidupan ekonomi.
Program Benteng adalah salah satu proyek nasionalisme ekonomi yang ditujukan untuk memajukan golongan pribumi dalam perekonomian. Kenyataannya, program itu gagal dalam membangun pengusaha pribumi yang tangguh. Sebaliknya yang tercipta hanya hubungan patron – klien antara penguasa dan pengusaha yang rawan terjadi korupsi. Sikap nasionalisme ekonomi yang ekstrim seperti itu nampaknya cenderung kontraproduktif bagi pembangunan ekonomi. Upaya mendahulukan kepentingan kelompok tertentu (pribumi atau non-asing) menyebabkan alokasi ekonomi tidak efisien. Contoh, dalam kasus privatisasi BUMN, larangan penjualan kepada investor asing menyebabkan investor lokal dapat membeli perusahaan itu dengan harga super murah. Tidak masalah bila kemudian hal itu menyebabkan konsentrasi pemilikan pada segelintir konglomerat lokal, kompetisi tidak sehat dan penurunan produktifitas. Pokoknya, lebih baik menjadi miskin karena bangsa sendiri dari pada menjadi kaya karena bangsa asing.
Namun demikian, nasionalisme ekonomi tidak selalu dipahami secara ekstrim seperti di atas. Bagi mereka yang berpandangan moderat, intervensi negara hanya diperlukan bagi mereka yang lemah dan tidak memiliki akses permodalan. Subsidi suku bunga, misalnya, perlu diberikan kepada pengusaha pribumi berskala kecil (UKM). Sementara itu untuk memacu pertumbuhan ekonomi, investasi asing tetap diperlukan.

Kenapa perlu modal asing?
Penolakan terhadap modal asing karena alasan nasionalisme nampaknya harus memperhatikan kenyataan yang terjadi. Pemerintah di negara berkembang memerlukan anggaran besar untuk membangun infrastruktur ekonomi dan sosial dan subsidi untuk pelayanan (kesehatan, pendidikan, dll.) kepada masyarakat. Sebaliknya, karena berbagai hal, potensi penerimaan domestik pemerintah sangat terbatas. Dengan kata lain, pemerintah di negara berkembang dihadapkan pada kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang tidak selalu dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri. Pinjaman luar negeri, menjadi salah satu pilihan yang masuk akal.
Di sektor swasta, persoalan yang kita hadapi adalah kurangnya modal untuk investasi dan lemah dalam teknologi. Hanya dengan investasi itulah ekonomi tumbuh dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Ketika kita tidak mampu menyediakan modal yang dibutuhkan untuk menambah kapasitas produksi, menghambat masuknya investasi asing menjadi keputusan kurang masuk akal. Modal asing itu ternyata dapat menjadi saluran bagi mengalirnya “budaya produksi” (teknologi dan managemen). Banyak pihak percaya bahwa proses alih teknologi akan terjadi sejalan dengan masuknya modal asing. Hal itu dapat memacu perkembangan teknologi yang mendukung peningkatan efisiensi ekonomi.

Kepentingan nasional
Alasan yang sering dikemukakan untuk menolak kepemilikan dominasi asing dalam perekonomian adalah “kepentingan nasional”. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan ”kepentingan nasional” itu sulit dirumuskan secara kongkret. Kepentingan sekelompok besar warga negara (pribumi misalnya) belum tentu sejalan dengan kepentingan semua warga negara. Sayangnya, “kepentingan nasional” itu dapat diterjemahkan secara sangat sederhana. Misalnya, agar percakapan telepon pejabat tidak di sadap oleh pihak asing maka investasi asing di sektor telekomunikasi harus dibatasi. Bila tujuannya sekedar menyadap percakapan telepon, apakah harus menguasai perusahaan telekomunikasi?
Satu hal yang pasti saya kira, perbaikan kesejahteraan seluruh masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi dan efesiensi dunia usaha adalah salah satu kepentingan nasional yang pokok. Oleh karena itu nasionalisme ekonomi saya kira harus diarah pada tujuan itu. Upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat tidak berarti harus anti asing dalam perdagangan maupun investasi. Pemilikan dan dominasi oleh siapapun berpotensi kontraproduktif bagi pembangunan kesejahteraan rakyat. Yang diperlukan adalah rambu-rambu hukum untuk membangun iklim usaha dan tatakelola perusahaan dan pemerintahan yang sehat agar semua potensi yang ada berguna bagi kepentingan bersama.